Belajar (lagi) tentang Dikotomi Kendali
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh perasaan aneh yang mendera di sore hari yang cerah, namun agak mendung. Singkat cerita, kejujuran terkadang membuat semua itu menyesakkan tapi hanya secara seketika. Lebih sedihnya kalau dibohongi, efeknya jauh lebih menyesakkan dari apapun selamanya. Selain teori jujur dan bohong, ada yang namanya “hard truth” kebenaran yang sangat berat untuk dikatakan maupun dirasakan, Setiap orang memiliki hard truth-nya masing-masing.
Hard truth saya diantaranya:
“Semua orang yang kamu peduliin, belum tentu peduli dengan kamu”
“Sebaik apapun kamu ke orang lain, pasti kamu akan disakiti juga”
“Semua yang kamu berikan, belum tentu kembali sesuai yang kamu inginkan”
“Kamu akan gagal”
“Kamu akan ditolak”
“Kamu akan dibohongi”
“Kamu akan dikecewakan”
“Kamu akan ditinggalkan”
“Kamu tidak akan dianggap”
“Kamu akan dilupakan”
“Kamu cuma dimanfaatkan”
“Kamu akan menemui keraguan”
“Kamu akan menemui ketidakcocokan”
Duh, banyak dan nyesek banget ya ternyata kalau disampein ke diri sendiri. Tapi seberat apapun, hard truth itu akan ada. Jadi ya gapapa. Mulai tulis dan pahami, coba rasakan dan belajar ikhlas. Kalau kata orang jawa “legowo”.
Ada banyak sekali dalam hidup ini yang tidak sesuai keinginan dan ekspektasi. Menjadi salah satu yang “merasa” paling disakiti, “merasa” paling berharga, “merasa” paling dibutuhkan dan lain — lain. Ingatlah, itu hanya perasaan semata.
Sebagaimanapun hasinya, tentang kegagalan, tentang dikecewakan atau tentang menjadi yang paling dibanggakan. Semua yang membedakan itu adalah respons dan fikiran terhadapnya.
Kata Mbah Epictetus, “Some things are up tp us, some things are not up to us”
Dalam hidup, ada yang bisa dikendalikan dan ada yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya Ang yang jadi pengendali Angin, Katara pengendali Air, atau bahkan Avatar? Pengenali 5 elemen (Eh kayaknya enggak begitu). Atau Momoshiki yang bisa mengendalikan tubuh Boruto? Hm sepertinya gak begitu juga. Sebagai layaknya manusia biasa, yang bisa dikendalikan adalah respon dan pikiran kita.
Tidak peduli seberapa besar bangganya meraih sebuah pencampaian, atau seberapa besar kecewanya dibohongi, seberapa sakitnya ditinggalkan, atau seberapa bahagianya dicintai. Kuncinya tentang cara pandang dan respon yang diberikan terhadap hal tersebut.
Bisa saja, ketika berada di fase yang tinggi-tingginya, kita “merasa” sedang dipuncaknya, respon kita sombong dan melupakan siapa saja yang ada dibelakang kita. Adapun, bisa pula ketika dibawah, ketika gagal atau dikecewakan kita “merasa” paling terpuruk bahkan lupa untuk sekadar menyayangi diri kita sendiri. Itu semua tentang merasa dan perasaan. Respon yang ditunjukkan ketika merasa adalah akibat yang ditimbulkan.
Satu moment ketika membaca buku Filosofi Teras, karya Om Henry Manampiring yaitu tentang judul tulisan ini “Dikotomi kendali”, adalah ajaran filsuf stoa, tentang mengetahui dan memahami apa saja yang bisa dikendalikan dan apa saja yang tidak bisa dikendalikan.
Studi kasus dalam buku tersebut yang paling ngena dengan saya sampai sekarang adalah tentang menghadapi “kemacetan”. Bagi saya yang sering ngomel, momen kemacetan menjadi hal yang sanget menyebalkan. Bagaimana tidak? Misal saja kemacetan di Bogor, ketika di angkot, dan cuaca sedang panas. Aduh, rasanya ingin marah-marah dan membuat kondisi semakin menyebalkan saja. (Mungkin anda bisa bayangkan moment menyebalkan yang pernah anda lalui juga, lalu bagaimana respon Anda?”
Tapi itu adalah gambaran saya sebelum baca bukunya Om Piring. Haha setelahnya, saya lebih merasa enjoy menikmati macet. Setidaknya, saya bisa paham tentang kerasnya kehidupan supir angkot yang sekarang sudah mulai sepi penumpang, kondisi pandemi yang memaksa pembatasan sosial, kemudian pikiran mereka yang menjadi tulang punggung sebuah keluarga, dan masih banyak lagi. Ternyata, sangat menyesakkan. Selain itu, kalaupun momen macet dan buru-buru membuat saya jalan kaki, setidaknya saya bisa sekalian menguruskan badan bukan? Hehe. Dapat poinnya? Yak, tentang respon yang diberikan.
Sebelum jauh-jauh, ada satu hal yang harus diperhatikan tentang respon kedua kondisi tersebut. Yaitu tentang ambil jeda. Dalam setiap yang kita jalani, ada kalanya kita tertalu cepat mengambil keputusan dengan menolak dan mengiyakan saja. Akan tetapi, tersedia beberapa detik dan menit berharga yang bisa kita gunakan untuk “jeda”, sesederhana ambil nafas dan tahan (sayang kalau dibuang) eh, hembuskan dulu, atau sesederhana duduk diam berfikir sebentar. Biarkan otak merespon kemudian memproses apa yang paling bijak yang bisa kita lakukan. Kata orang, ketika bisa menerapkan ini, kita bisa dibilang manusia yang mindfullness.
Menjadi baik, menjadi tidak baik itu pilihan. Merespon dengan baik, menyadari yang kita terima itu ga selamanya baik, itulah yang perlu jadi latihan. Mengambil jeda dalam setiap peristiwa dan belajar bijaksana adalah sebuah jalan ninja.
Sekian, akhirnya satu tulisan dengan ketidaksiapan menulis karena terpantik perasaan yang “hampir lupa” dengan dikotomi kendali, akhirnya disadarkan dengan menulis dan membaca tulisan sendiri.
Ponorogo, 14 November 2021
Dari saya yang masih mengerjakan revisi..
Sumber :
- Manampiring H. 2019. Filosofi Teras. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Refleksi sepersekian butir ilmu yang diberikan kak Ayu Kartika Dewi di Mentoring Perempuan Gagal batch 1.
- Rangkaian perjalanan kehidupan, mengarungi luasnya dunia untuk mengetuk pintu hatimu, Haha becanda. Intinya sepersekian ilmu dan pembelajaran banyak dari Lord Aam.